Dua Belas Konsep Kepemimpinan (1)

Konsep Philips II dari Macedonia
Apa yang di peroleh seorang pemimpin puncak ? Kehormatan, kepercayaan, kebanggaan, kekayaan, dan kekuasaan. Keindahan di puncak mendorong setiap orang untuk mencapai yang terbaik, menjadi pemimpin puncak. Yang terjadi pemimpin puncak sama seperti ketika mendaki gunung yang menjulang tinggi melampaui awan. Akan melihat keindahan yang tidak biasa dinikmati oleh mereka yang jauh di bawah, akan tetapi bukan itu saja ada dua hal lagi yang akan di rasakan yaitu rasa dingin dan kesepian. Rasa dingin dan kesepian di puncak gunung masih belum mengalahkan dingin dan kesepiannya menjadi pemimpin puncak. It is to be there.

Seorang ingin menjadi pemimpin, khususnya pemimpin puncak, harus belajar untuk berempati pada posisi puncak. Ia harus belajar untuk menerima rasa dingin dan kesepian. Seseorang pemimpin puncak mempunyai tugas pokok membuat keputusan sendirian. Manajemen memang adalah tim. Dalam membuat keputusan, maka tim manajemen akan menyiapkan riset, alternatif pilihan, prioritas, dan serangkaian mekanisme pendukung pengambil keputusan. Bahkan, sebelum keputusan dibuat pun ada board meeting yang dihadiri oleh seluruh dewan direksi. Namun, siapa yang membuat keputusan akhir dan bertanggung jawab atas seluruh resikonya ? Biasanya, yang membuat keputusan akhir adalah seorang Presiden Direktur, meskipun terdapat organisasi yang bekerja secara tim penuh, dimana di dalam Board of Directur, CEO bertindak sebagai the fist among the equal.
Proses pengambil keputusan seorang CEO tidak hanya bersifat keilmuan dan seni semata, namun memerlukan top leadership completence, yaitu keberanian untuk mengambil keputusan sendirian. Sering kali yang dihadapi adalah pilihan - pilihan yang berat dan menekan. Sebagai CEO akan dihadapkan kepada tekanan untuk mengikuti keinginan dari pejabat tertentu, yang kadang posisinya di atas CEO dan dapat menentukan hidup mati CEO itu sendiri. Selalu ada dua keputusan : (a) keputusan yang menguntungkan pribadi pribadi CEO dan (b) keputusan yang menguntungkan organisasi yang di pimpin. Sering kali pilihan keputusan bukanlah (a) dan (b) , melainkan (a) atau (b). Pilihannya seperti model teori zero sum game, yaitu jika memilih (a) berarti selamat ( dan mungkin mendapat imbalan kekakayan dan kekuasaan baru ) namun organisasi akan hancur. Jika memilih (b) berarti organisasi selamat tetapi kemungkinan bagi CEO di pecat.
Karakter pemimpin yang tidak paham bahwa menjadi pemimpin itu adalah berdiri di puncak dan diterpa angin dingin yang menusuk dan sendirian ! Ia harus menanggung segala akibat dari keputusan profesional tersebut. Ia tidak boleh takut karena sendirian di puncak. Ia juga tidak boleh meninggalkan kesendirian tadi. Ia harus bertahan, karena jika tidak , organisasi akan hancur.Akan tetapi bertahan di puncak tidak dapat di benarkan dengan mengorbankan organisasi.
Pada saat Alexander III masih berusia 17 tahun ayahnya menyatakan bahwa dia adalah calaon pengganti raja yang diharapkan akan mengembangkan hegemoni Macedonia. Wejangan ayahnya, yaitu Raja Philip II, sangat singkat, if you want to be a king, try to be alone. King has no friends. Alexander III benar-benar melaksanakan kiat dari ayahnya. Alexander III tidak lain adalah Alexander Agung ( 356 - 323 SM ) yang kerajaanya membentang dari eropa, India, hingga Afrika Tengah.
Sebagai raja menurut Philips bukan berteman dengan bawahannya tetapi melindungi , menghukum yang salah, memberi kepada yang cakap, selain juga mendengarkan nasihat bawahan yang bijak.Tidak berteman dengan bawahan dalam konotasi ini tidak berarti lalu menjauh melainkan dapat akrab dengan bawahan dalam batasan-batasan tertentu.

pustaka :Dr. Djokosantoso Moeljono ,2003, Beyond Leadership,Elex Media Komputindo

No comments:

Post a Comment